Perayaan Lunar Moon atau tahun baru China kembali digelar. Kemeriahanpun tampak hampir disemua kediaman warga Tionghoa.
Terang lampu tampak gemerlap menghiasi malam, dominasi warna merah menambah semarak perayaan warga minoritas ini.
Lampion indah untuk menyambut Tahun Naga Air, berharap agar ada perubahan bagi kebijakan untuk negara melindungi minoritas.
Warga Tionghoa terkenal sebagai pekerja keras, dari saat ayam berkokok menyambut mentari sampai tenggelam di ufuk barat, mereka bekerja bagi mendapat jaminan finansial hari depan.
Pilihan itulah yang dilakukan, menjadi pedagang dan pengusaha, karena memang banyak sisi, peluang, dan jabatan birokrasi masih terhimpit bagi orang Tionghoa.
Kerja keras yang dilakukan sepanjang tahun, dirayakan melalui tahun baru China. Seakan semua beban dan tekanan, tenggelam dalam arakan naga dan tarian barongsai.
Meski kebijakan diskriminasi coba dikikis sejak era mantan presiden RI ke-empat, Gus Dur, namun tak dipungkiri paham kebencian masih subur ditengah masyarakat kita.
Perayaan Tahun Baru China sendiri, memang baru diberi ruang saat Gus Dur menjadi orang nomor satu di Indonesia.
Seakan menjadi kabulan doa bagi seluruh warga Tionghoa di Nusantara.
Mereka mendapat pengakuan akan eksistensi sebagai bagian dari anak bangsa, di bawah Merah Putih dan Pancasila.
Tapi tentunya, tak sedikit aral merintang, di tingkat pemerintahan distrik negara ini, banyak kepala daerah yang melarang perhelatan budaya Tionghoa.
Kebijakan yang memberi wajah buruk bagi Indonesia yang dikenal plural. Pikiran sempit dominasi kelompok mayoritas masih menghantam minoritas.
Yah, demikianlah realita pahit ditengah kita. Pengakuan dan persamaan hak memang harus dan selalu diperjuangkan.
Memang sulit dan tidak seketika, namun percayalah, anak bangsa dengan nilai negarawan akan mewujudkannya.
Dengan tahun baru China kali ini, kita semua dapat ikut dalam kegembiraannya sebagai satu bangsa.
GONG XI FAT CHAI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar