Minggu, 22 Januari 2012

Secercah Bahagia Minoritas

Perayaan Lunar Moon atau tahun baru China kembali digelar. Kemeriahanpun tampak hampir disemua kediaman warga Tionghoa.

Terang lampu tampak gemerlap menghiasi malam, dominasi warna merah menambah semarak perayaan warga minoritas ini.

Lampion indah untuk menyambut Tahun Naga Air, berharap agar ada perubahan bagi kebijakan untuk negara melindungi minoritas.

Warga Tionghoa terkenal sebagai pekerja keras, dari saat ayam berkokok menyambut mentari sampai tenggelam di ufuk barat, mereka bekerja bagi mendapat jaminan finansial hari depan.

Pilihan itulah yang dilakukan, menjadi pedagang dan pengusaha, karena memang banyak sisi, peluang, dan jabatan birokrasi masih terhimpit bagi orang Tionghoa.

Kerja keras yang dilakukan sepanjang tahun, dirayakan melalui tahun baru China. Seakan semua beban dan tekanan, tenggelam dalam arakan naga dan tarian barongsai.

Meski kebijakan diskriminasi coba dikikis sejak era mantan presiden RI ke-empat, Gus Dur, namun tak dipungkiri paham kebencian masih subur ditengah masyarakat kita.

Perayaan Tahun Baru China sendiri, memang baru diberi ruang saat Gus Dur menjadi orang nomor satu di Indonesia.

Seakan menjadi kabulan doa bagi seluruh warga Tionghoa di Nusantara.

Mereka mendapat pengakuan akan eksistensi sebagai bagian dari anak bangsa, di bawah Merah Putih dan Pancasila.

Tapi tentunya, tak sedikit aral merintang, di tingkat pemerintahan distrik negara ini, banyak kepala daerah yang melarang perhelatan budaya Tionghoa.

Kebijakan yang memberi wajah buruk bagi Indonesia yang dikenal plural. Pikiran sempit dominasi kelompok mayoritas masih menghantam minoritas.

Yah, demikianlah realita pahit ditengah kita. Pengakuan dan persamaan hak memang harus dan selalu diperjuangkan.

Memang sulit dan tidak seketika, namun percayalah, anak bangsa dengan nilai negarawan akan mewujudkannya.

Dengan tahun baru China kali ini, kita semua dapat ikut dalam kegembiraannya sebagai satu bangsa.

GONG XI FAT CHAI

Jumat, 20 Januari 2012

SETIANYA ANJING

Otak hewan, berdasarkan penelitian ahli, sangat kecil dibandingkan dengan bobot tubuhnya.

Begitu juga anjing. Meski berotak kecil, namun hewan ini terkenal sangat setia dan tetap mengenal tuannya, meski telah lama tak bertemu.

Berbeda dengan manusia yang dianugerahi volume otak yang besar dan cerdas, manusia cenderung penuh intrik dan kesetiaan yang dapat diukur.

Aku memiliki anjing, beberapa, yang sebenarnya anjing tetangga. Namun karena terlalu banyak sebagian anjing itu sering berteduh dan makan di tempatku.

Mereka sangat setia, selalu menunggu ditempat yang sama, serta kibasan ekor riang jika aku kembali ke rumah.

Apakah kesetiaan anjing terpatri dalam genetiknya? Aku juga tak tahu. Yang pasti saat anjing tersebut memiliki lima ekor anak anjing, kelima anaknya juga menunjukkan kesetiaan sejak lahir.

Menjilati kaki atau tanganku, kadang tidur di sampingku saat aku sedang duduk di teras rumah.

Dimandikan, diberi makan, selalu dibelai, dicari dan dipanggil saat anak-anak anjing itu bertualang terlalu jauh.

Kadang anak anjing duduk dengan lucunya, memandang penuh harap untuk diajak main.

Mereka memang setia dan selalu mau menanti. Sebentar lagi anak anjingku akan besar dan perkasa, mereka akan jadi penjaga setia.

Aku sadar, dalam hidup, ikatan dan kesetian besar memang hanya tertempa jika menjadi bagian atau komunitas.

Bagian dari kelompok, kesatuan, anggota geng, organisasi, korporasi, yang jelas struktur dan tujuannya.

Kelompok yang paling dekat adalah Keluarga, dimana kita belajar setia, mencintai, mengasihi, dengan tujuan masa depan indah.

Kamis, 19 Januari 2012

(Nikmat) Mencicipi Bajakan?

Sudah menjadi hal lumrah di negeri ini, barang bajakan mudah ditemukan.

Seperti halnya kepingan DVD film, baik besutan nasional maupun manca negara.

Yah, memang begitu adanya, maklum produk orisinil jauh lebih mahal. Sementara isi kantong kebanyakan masyarakat semakin menipis.

Alhasil, film bajakan menjadi primadona. Seperti diriku juga, penikmat film bajakan.

Butuh akan hiburan, membuat kita memilih produk bajakan, meski tak jarang kualitas sangat minim.

Asal pandai sedikit memilih, film bajakan juga bisa tak kalah seru dengan menyaksikan film di Cinema 21.

Untuk mudahnya, sebaiknya langganan dengan pedagang. Informasi film terbaru, harga jauh miring, dan bisa dapat kualitas bagus.

Aku juga pelanggan tetap, meski harus membeli kepingan DVD di Pemangkat, kabupaten lain. Namun kebanyakannya, memang memuaskan.

Sekeping DVD hanya Rp 8.000, bandingkan aja produk original di Mall, bisa mencapai Rp 250.000. Sudah murah masih dapat diskon.

Begitulah, cekaknya keuangan masyarakat, rupanya membangun market sendiri bagi rakyat kecil.

Razia dan penertiban memang sering dilakukan aparat. Contohnya Kota Singkawang, sudah sulit mencari kepingan DVD.

Sebenarnya bukan hilang, namun usaha film bajakan hanya bergeser atau pindah wilayah saja. Tak bisa di Singkawang, kota lain masih banyak.

Apalagi, bisnis bajakan merupakan jaringan besar, dengan beking pertugas, tentunya.

Hak cipta, tampaknya tak diambil pusing. Yang penting bisa menonton ria dengan harga murah.

Konklusi, jika masyarakat ekonomi lemah masih dominan di Indonesia, maka market bajakan tentu akan subur.

Begitu pula jika aparat masih mengharap suapan nasi dari bisnis bajakan, maka usaha akan tetap ada.

Mungkin, hanya mungkin, membajak merupakan bentuk dari kreatifitas dari segala keterbatasan bangsa kita.

Jika demikian, aku berharap anak bangsa ini tak hanya bisa membajak film, namun berbagai bentuk teknologi.

Yang terpenting mental kita bukan bajakan. Karena prinsipnya manusia selalu meniru, kemudian mengembangkan, untuk terus hidup.

Selasa, 17 Januari 2012

Tak Bermaksud Perangi Bayam




Tak terasa, sudah 2 bulan lalu aku menjalani operasi besar untuk mengangkat batu ureter di bawah ginjalku.

Tepatnya 4 November 2011, pisau bedah mengiris pinggang kiriku di RSU St Antonius Pontianak.

Tubuh telah kembali bugar dari sakit yang mendera, sempat membuatku roboh dan mengalami shock kejang, karena kolik ginjal.

Ya, batu seukuran peluru AK-47 berhasil dikeluarkan tim dokter, yang sukses merogoh tabungan aku dan istriku sekitar Rp 25 juta.

Namun trauma masih tersisa, aku begitu takut akan gejala sakit di bagian pinggang.

Apalagi ternyata makanan yang dianggap sehat selama ini, ternyata momok bagi sistem organ ginjal ini.

Terkejut sudah pasti, dari sekian banyak larangan yang diujarkan dokter, satu diantaranya adalah sayur BAYAM.

Meski kaya kandungan gizi, namun jenis sayur ini dapat memicu timbulnya batu ginjal dan disekitarnya.

Bayam memiliki senyawa dominan yakni oksalat/oxalate. Kadar zat ini jika terlalu tinggi sangat mengganggu ginjal. Apalagi oksalat termasuk senyawa alergenik.

Di dalam tubuh keroposku ini, oksalat akan bersenyawa dengan kalsium, membentuk kristal yang menyumbat ginjal atau salurannya.

Kalsium oksalat nama setan itu, dan bayamlah yang melahirkannya. Jelas membuat ngeri.

Jadi, bukan aku bermaksud memerangimu wahai bayam, namun dikau nyaris menghentikan hembusan nafasku.

Selamat tinggal bayam.......

KENAPA BUDAYA KEKERASAN SUBUR DI INDONESIA?


Hingar bingar teriakan, makian, gambaran kekerasan semakin mewarnai interaksi antar masyarakat di Indonesia, kenapa? Ibarat candu, warga begitu menikmati kekerasan.

Lihat saja, tanpa sungkan, bogem mentah, bahkan hujaman senjata tajam, tampak berkecamuk, seperti yang diperlihatkan melalui media televisi.

Kekerasan di Indonesia = Budaya ? Pahit, namun begitu adanya. Ricuh, rusuh, kemelut, terjadi atas berbagai penyebab, kadang dari hal yang paling sepele.

Suburnya kekerasan dipupuk oleh kesenjangan sosial, disirami kepentingan kelompok/golongan, dirawat oleh pembenaran. Ya, begitulah, meski terus terulang, tetap saja kekerasan dijadikan alat.

Aparat keamanan seakan mandul, kemampuan menegakkan hukum tanpa pandang rambut, warna kulit, bentuk mata, keyakinan, telah tumpul.

Sistem hukum Indonesia sebenarnya cukup sakti, konstitusi yang menjadi sendi negara juga dengan jelas melindungi setiap anak bangsa.

Namun kembali, "Sang Penegak Hukum" ternyata tidak tegak, condong, mengikuti tiupan angin.

Tapi tentunya seragam pengokang senjata tak bisa sepenuhnya disalahkan. Andil utama, memang pada pemegang keputusan negara ini.

Kebijakan timpang saat Bapak Pembangunan masih berkuasa, menumpuk dendam kaum yang dipinggirkan. 17 ribu palau di nusantara, dikeruk untuk hidupkan satu pulau.

Bahkan saat otonomi sudah bergulir, begitu banyak kebijakan timpang yang mengkondisikan kaum luar pulau utama tetap tertinggal.

Sentra produksi industri masih terpusat, jangankan BBM, kebutuhan akan garam saja dapat dengan mudah diembargo.

Tak dipungkiri, warga asli menatap dengan kerutan dahi, program migrasi pemerintah pusat mendistribusikan jutaan penduduk dari pulau utama. Diberi tanah, rumah, jatah hidup, modal usaha, sementara si asli hanya menggigit bibir.

Ungkapan "Pendatang" kemudian berubah menjadi "Penjajah", yang seharusnya tak terucap dari bibir putra Merah Putih.

Perasan menjadi kaum terjajah secara ekonomi kemudian memicu kekerasan, hasilkan kerusuhan.

Prinsip adil masih menjadi multi tafsir di negeri ini, adil bagi mayoritas, adil bagi kepentingan kolektif, adil untuk mengeksploitasi minoritas.

Keadilan busuk inilah yang diterapkan peradilan kita, saat korban kekerasan karena keyakinannya, divonis sama dengan para penyerang yang mengatasnamakan Tuhan.

Bibit kebencian secara sadar dan sengaja ditaburkan dan dipupuk, padahal setiap manusia memiliki hak yang sama hidup di bumi ciptaan Ilahi.

Negara harus bertindak tegas, secara nyata telah tumbuh kelompok dan organisasi yang menolak Pancasila. Mereka bahkan berani mencemooh saat upacara kenaikan bendera Merah Putih.

Menaburkan ketakutan adalah spesialisasi kelompok ini. Alih-alih menjadi takut, yang muncul adalah perlawanan pada penabur teror. Maka kembalilah terjadi kekerasan masif, kerusuhan, dan huru-hara.

Tegas, tegas, tegas, dan adil, itulah yang diharapkan kepada pemegang mandat negara ini. Kekerasan tak bisa diredam dengan goyang dangdut, tak bisa diredam dengan lobi politik, apalagi hanya dengan "omong doang".

Tanpa niat, tanpa itikad untuk tegas, kekerasan akan menjadi DNA generasi depan. Maka lumrahlah, saat remaja saling gebuk, siswa tawuran di jalanan, dan preman lebih dihormati dibanding rohaniawan.

Banyak negarawan bangsa ini mulai menyadari akan runtuhnya Indonesia, akan kesalahan fatal penguasa, serukan kembali pondasi yang dibangun oleh The Founding Father.

AKU INDONESIA MESKI TAK ADA LAGI INDONESIA..............................

AKU MEMILIH HIDUPKU, KARNA KAULAH HIDUPKU...

Aku tak memikirkanmu, karna kau selalu dibenakku..

Aku katakan tak menyukaimu, karna aku begitu mencintaimu..

Aku menjawab tak menginginkanmu, karna aku begitu membutuhkanmu..

Aku tak menangis jika kau pergi, karna nafasku kan terhenti jika kau tiada..

Aku tak hanya hidup untukmu, karna kematianpun akan ku tempuh bagimu..

Aku tak lakukan sesuatu yang kau pinta, karna segalanya akan aku perjuangkan untukmu..

Aku memilih hidupku, karna kaulah hidupku..

Hitam Putih Pena Patah


Hitam dan Putih, demikian perjalanan pena patah. Jurnalistik, reportase, sang pewarta, rangkaian kata yang saat ini erat dengan gemuruhnya (perang) informasi.

Kadang hitam kadang putih, teramat sering terjebak diantaranya. Benar! Jurnalistik bukan lagi raungan idealis si nurani, tapi komoditas.

Hanya duduk, dan sedikit menggerutu, lihatlah hari-hari yang disajikan dengan jurnalistik yang sarat politik.

Pesan dari sang penguasa, atau kelompok sang lawan politik. Semuanya pesanan belaka.

Corong, propaganda, demikianlah media massa hari-hari ini. Nasional juga manca negara.

Sadar bahwa pena ini telah patah. Digunakan untuk mengacaukan ekonomi, arus uang, berpengaruh memperparah inflasi.

Menciptakan perang, menyudutkan, semuanya halal demi mengeruk nominal korporasi media massa.

Pemodal, sponsor, pemasang iklan akan diperjuangkan, dengan secuil bumbu kepentingan rakyat.

Benar-benar penuh warna, ada media biru, kuning, hijau, dan sebagainya.

Kami pejuang, kami singa yang mengaum, sebagian kalimat yang dulu kutempel didahi. Aku si idealis bodoh.

Baru mengerti, menjadi tak idealis merupakan fakta idealis. Kami hanya barisan yang dihunjam piramida terbalik, dengan uang berada ditatanan teratas.

Lebam, biru, penuh bilur, berteriak tanpa suara. Perjuangan ini buta, hanya lelucon dalam daftar statistik korporasi.

"Lawan, lawan, lawan..." Bisikan suara hati yang perlahan tenggelam.