Selasa, 17 Januari 2012

KENAPA BUDAYA KEKERASAN SUBUR DI INDONESIA?


Hingar bingar teriakan, makian, gambaran kekerasan semakin mewarnai interaksi antar masyarakat di Indonesia, kenapa? Ibarat candu, warga begitu menikmati kekerasan.

Lihat saja, tanpa sungkan, bogem mentah, bahkan hujaman senjata tajam, tampak berkecamuk, seperti yang diperlihatkan melalui media televisi.

Kekerasan di Indonesia = Budaya ? Pahit, namun begitu adanya. Ricuh, rusuh, kemelut, terjadi atas berbagai penyebab, kadang dari hal yang paling sepele.

Suburnya kekerasan dipupuk oleh kesenjangan sosial, disirami kepentingan kelompok/golongan, dirawat oleh pembenaran. Ya, begitulah, meski terus terulang, tetap saja kekerasan dijadikan alat.

Aparat keamanan seakan mandul, kemampuan menegakkan hukum tanpa pandang rambut, warna kulit, bentuk mata, keyakinan, telah tumpul.

Sistem hukum Indonesia sebenarnya cukup sakti, konstitusi yang menjadi sendi negara juga dengan jelas melindungi setiap anak bangsa.

Namun kembali, "Sang Penegak Hukum" ternyata tidak tegak, condong, mengikuti tiupan angin.

Tapi tentunya seragam pengokang senjata tak bisa sepenuhnya disalahkan. Andil utama, memang pada pemegang keputusan negara ini.

Kebijakan timpang saat Bapak Pembangunan masih berkuasa, menumpuk dendam kaum yang dipinggirkan. 17 ribu palau di nusantara, dikeruk untuk hidupkan satu pulau.

Bahkan saat otonomi sudah bergulir, begitu banyak kebijakan timpang yang mengkondisikan kaum luar pulau utama tetap tertinggal.

Sentra produksi industri masih terpusat, jangankan BBM, kebutuhan akan garam saja dapat dengan mudah diembargo.

Tak dipungkiri, warga asli menatap dengan kerutan dahi, program migrasi pemerintah pusat mendistribusikan jutaan penduduk dari pulau utama. Diberi tanah, rumah, jatah hidup, modal usaha, sementara si asli hanya menggigit bibir.

Ungkapan "Pendatang" kemudian berubah menjadi "Penjajah", yang seharusnya tak terucap dari bibir putra Merah Putih.

Perasan menjadi kaum terjajah secara ekonomi kemudian memicu kekerasan, hasilkan kerusuhan.

Prinsip adil masih menjadi multi tafsir di negeri ini, adil bagi mayoritas, adil bagi kepentingan kolektif, adil untuk mengeksploitasi minoritas.

Keadilan busuk inilah yang diterapkan peradilan kita, saat korban kekerasan karena keyakinannya, divonis sama dengan para penyerang yang mengatasnamakan Tuhan.

Bibit kebencian secara sadar dan sengaja ditaburkan dan dipupuk, padahal setiap manusia memiliki hak yang sama hidup di bumi ciptaan Ilahi.

Negara harus bertindak tegas, secara nyata telah tumbuh kelompok dan organisasi yang menolak Pancasila. Mereka bahkan berani mencemooh saat upacara kenaikan bendera Merah Putih.

Menaburkan ketakutan adalah spesialisasi kelompok ini. Alih-alih menjadi takut, yang muncul adalah perlawanan pada penabur teror. Maka kembalilah terjadi kekerasan masif, kerusuhan, dan huru-hara.

Tegas, tegas, tegas, dan adil, itulah yang diharapkan kepada pemegang mandat negara ini. Kekerasan tak bisa diredam dengan goyang dangdut, tak bisa diredam dengan lobi politik, apalagi hanya dengan "omong doang".

Tanpa niat, tanpa itikad untuk tegas, kekerasan akan menjadi DNA generasi depan. Maka lumrahlah, saat remaja saling gebuk, siswa tawuran di jalanan, dan preman lebih dihormati dibanding rohaniawan.

Banyak negarawan bangsa ini mulai menyadari akan runtuhnya Indonesia, akan kesalahan fatal penguasa, serukan kembali pondasi yang dibangun oleh The Founding Father.

AKU INDONESIA MESKI TAK ADA LAGI INDONESIA..............................

Tidak ada komentar: