Selasa, 22 Juli 2008

Celoteh Sang Perwira dan Hukuman Mati




Tak biasa, aku menyimpan argumenku, dan memasang telinga dengan seksama untuk mendengarkan seorang polisi menyampaikan buah pikirannya. Mungkin celotehlah, kira-kira, yang keluar dari bibir seorang perwira polisi yang tengah menyusun disertasi pasca sarjana itu.

Menarik! Demikian aku menilai setiap pandangan yang diutarakannya. Menurut perwira penghobi buku intelek itu, hukum di Indonesia jalan ditempat, terlalu kaku. Kitab Undang-undang Hukum Pidana, lanjut dia, sudah usang, bahkan aturan yang diciptakan oleh kolonial Belanda itu, di negara asalnya telah dipeti eskan.

"Makanya, kita bisa lihat ada orang yang dipenjara hanya karena mengambil beberapa koko, bahkan buah sawit untuk dimakan. Semuanya terlalu kaku, seharusnya rasa kemanusiaan yang menjadi dasar dalam pembuatan perangkat hukum," tukas sang polisi.

Jauh berbeda, katanya lagi, di negara maju jazirah Eropa, pengampunan menjadi dasar untuk semua aturan hukum. "Sementara kita, jika seorang masuk penjara, bearti kehidupannya hancur, pekerjaan musnah, juga rumahtangga berantakan. Itu tidak memberikan rasa jera, namun frustasi," tandas perwira tersebut.

Namun sebagai seorang aparat hukum, dirinya mau - tak mau, suka - tak suka, secara tegas harus menegakkan aturan yang menjadi pilar negara itu. Sampai bait kata inilah, sang polisi, kemudian menyatakan betapa satu tanggungjawab yang berat melaksanakan aturan hukum, hanya Tuhan menjadi sandaran, saat hukum yang kaku bertolak belakang dengan nilai kemanusiaan.

Tidak ada bedanya jika seorang yang mencuri Rp 1.000, dengan seorang yang maling yang menggasak Rp 10 juta. Dengan penerapan pasal yang sama, keduanya akan terjerat. Latar belakang satu perkara, sangat sedikit yang menjadi pertimbangan hukuman.

"Ada satu titik, dimana seorang pencuri sebenarnya tidak dapat dihukum karena perbuatannya. Itu berlaku dinegara luar, mereka menerapkan pengampunan dan menghargai nilai kehidupan seorang manusia. Tapi titik ini tidak ada di negara kita," tuturnya pelan.

Hukuman, tambah si perwira, bukan bertujuan agar sang terpidana menderita dan menyesali kehidupan sepanjang hayatnya. Namun, hukuman hadir agar pelaku kejahatan menyadari dan menghargai betapa berharganya kehidupan bagi dirinya dan orang banyak.

Dengan dasar itulah, polisi ini menilai hukuman mati bukanlah satu jawaban dari pelanggaran hukum. "Siapakah yang layak menerima kematiannya, hanya dari ketukan palu. Hukuman mati tidak akan merubah apapun, tidak akan memperbaiki kerusakan yang terjadi. Yang pasti, hanya sebagai hukuman untuk memuaskan kekecewaan kolektif, tidak lebih," tandas dia.

Kata-kata dari seorang perwira polisi, praktisi hukum ini, jelas memiliki makna yang tersirat sangat dalam. Hukum tak bisa dilihat dari kacamata pemuasan nafsu, dalih pemberian keadilan bagi yang tertindas.

Jadi, bicara hukuman mati, mungkin hanya Ilahi yang pantas memutuskan. Jika kelak, kau dan aku, menyungging senyum saat hukuman mati dijatuhkan atas manusia lain, tak dipungkiri kita berdua telah menghukum mati rasa kemanusiaan, yang membedakan kita dengan mahluk lainnya. Rasa yang diberikan Tuhan sejak sejak semesta ini tercipta......

Tidak ada komentar: