Kamis, 24 Juli 2008

Dunia Malam Café Ancol



Di tengah dinginnya malam, sekitar pukul 00:15 WIB, Kamis (24/7), Sepeda motor dipacu dari Kota Mempawah menuju Desa Penibung, Kecamatan Mempawah Hilir. Aku dan tiga teman menuju lokasi percafean yang sering disebut warga sebagai daerah Ancol.

Tak terasa, sekitar 10 menit perjalanan, Ancol yang berjarak 8 km dari Ibukota Kabupaten Pontianak, telah tampak, dengan lampu warna-warni yang remang.

Segera, Honda Fit-Z, memasuki area café yang berdinding papan dan beratap daun rumbia itu. “Bang di sini aja parkirnya, sekalian mampir minum,” ujar seorang gadis yang berdiri di depan pintu masuk café.

Suasana memang sedang sepi, maklum saat itu Kamis, dini hari, Ancol biasanya ramai pada Jumat malam dan Minggu malam.

Saat masuk kedalam café, terlihat sekitar 8 wanita dengan busana seronok, sedang duduk santai dan menikmati rokok, di cafe tidak terdapat seorang pengunjungpun.

Selain para wanita yang selalu melirik penuh senyuman, berdiri seorang pria berbadan tegap disamping kasir Café, ia menatap tajam kearah kami berempat.

Setelah memutuskan posisi duduk yang tepat, empat gadis dengan make-up tebal menghampiri.” Minum apa Bang?” tanya seorang yang berpakaian merah, sedangkan yang lain tanpa malu-malu, segera duduk disamping.

“Teh Botol Sosro dua, the panas satu. Kamu minum apa?” tanya seorang teman, seraya berpaling kearahku. Dengan tersenyum, aku katakan hanya ingin minum sebotol air mineral.

Tak berapa lama pesanan datang, percakapan dimulai, suasana semakin cair. Tenyata, nama para gadis itu, Yuni (18), Putri(16), Melda(22), dan Maya(22).

Ku perhatikan gadis-gadis terbahak, kadang tanpa ada lelucon mereka tetap tertawa.”Kamu baru habis minum(alkohol), ya,” tanyaku kepada Putri yang akrab dipanggil Puput.

Awalnya ia tidak mengaku, namun setelah didesak, gadis asal Sanggau Ledo itu mengatakan ia telah meminum beberapa botol bir, aku hanya mengangguk saja.

Sementara disamping, duduk Yuni, gadis ini paling aktif mendominasi percakapan. “Santai aja Bang, di sini kan tempat rileks,” ujarnya. Sedangkan dua gadis lain, asik mengobrol dengan teman-teman semeja.

Tiba-tiba, dengan nada merengek pelan, Yuni minta dibelikan minuman kaleng. “Ambil saja, nggak apa-apa. Sekalian kacangnya juga ya,” ujar temanku yang merupakan anggota kepolisian.

Teman polisiku, berbisik, bahwa gadis-gadis di café tersebut bisa dibawa jalan-jalan. “Layanan plus,” katanya singkat.

Aku pun bertanya kepada Yuni, apakah gadis di café itu bisa diajak keluar, ia mengangguk. Tanpa basa-basi, kutanya berapa tarif yang dipasang untuk layanan plus itu. “Biasanya Rp 100 ribu, kadang bisa lebih, tergantung ceweknya,” timpal Yuni.

Degan senyum menggoda Yuni menawarkan jasa plus, namun aku menggeleng. “Hanya bertanya saja,” ujarku sembari membalas senyum gadis yang memakai celana super pendek itu.

Saat ditanyakan, siapa saja yang sering mampir di café, Yuni menjawab, hanya orang yang lewat saja, seperti sopir, sales, dan warga sekitar. Kemudian, ia menuturkan, ada beberapa langganan tetap, yang merupakan pegawai pemerintahan, terkadang pejabat.

Gadis asal Parit Nenas itu menambahkan, jika tidak ada pelanggan, mereka hanya mendapat penghasilan dari bagi hasil penjualan minuman atau tip dari pelanggan, karena mereka tidak digaji. Untuk sebotol bir seharga Rp 45 ribu, Yuni memperoleh Rp 5 ribu.

Kata dia, ia terpaksa melakoni pekerjaan itu karena tidak ada sumber pendapatan lain. “Orangtua tahu kalu saya bekerja seperti ini,” jelas perempuan yang hanya pernah duduk dibangku kelas dua SMP itu.

Tanpa terasa waktu sudah menunjukkan hampir jam 2 malam, kami pun menghentikan percakapan dan memutuskan beranjak kembali ke Mempawah. Luar biasa, biaya minuman standar yang harus dibayar, harganya mencapai Rp 145 ribu.

“Bisa tekor bos, kalau keseringan kesini,” kataku pada teman polisi yang membayar tagihan, diikuti gelak tawa kedua teman yang lain.(dng)

Tidak ada komentar: